Thursday, May 23, 2013

Kuis Online

IPS TERPADU

Gambar 1. Gambar IPS

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006,  tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Ilmu Pengetahuan  Sosial (IPS) di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), mencakup materi geografi, sejarah,  sosiologi, dan ekonomi. Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajarannya. Dengan pembelajaran secara terpadu, diharapkan pembelajaran IPS menjadi lebih bermakna bagi peserta didik dalam konteks kehidupan sehari-hari. Peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan utuh.
Mata pelajaran IPS mengkaji berbagai aspek kehidupan masyarakat secara terpadu, karena kehidupan masyarakat sebenanya merupakan sebuah sistem dan totalitas dari berbagai aspek. Kehidupan bermasyarakat bersifat multidimensional, sehingga  pembelajaran IPS yang dilaksanakan secara terpadu diharapkan mampu mengantarkan dan mengembangkan kompetensi peserta didik ke arah kehidupan bermasyarakat dengan baik dan fungsional,  memiliki kepekaan sosial dan mampu berpartisipasi dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi.
Namun dalam Standar Isi mata pelajaran IPS SMP, belum sepenuhnya terpadu, sehingga menjadi beban dan tidak jarang menimbulkan  kebingungan bagi para guru, mengingat terjadi gap antara maksud dan tujuan IPS dengan pelaksanaan di lapangan. Oleh karena itu perlu upaya-upaya dengan mengembangkan  bahan kajian yang ada dalam standar isi menjadi tema-tema yang dibelajarkan secara terpadu.
Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP). Dalam kenyataannya, guru masih mengalami kesulitan untuk melaksanakan pembelajaran IPS secara terpadu. Masih banyak guru yang memahami IPS sebagai mata pelajaran yang terpisah-pisah, yaitu Ekonomi, Geografi, Sosiologi dan Sejarah, yang pembelajarannyapun dilaksanakan secara terpisah. Hal ini jelas tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembelajaran IPS. Dalam konteks ini sangat mungkin di antara guru IPS yang ada, juga kurang memahami tujuan pembelajaran IPS. Untuk itu, perlu disusun Makalah mengenai Strategi Pembelajaran IPS Terpadu.


Friday, May 3, 2013

Ngolek ILmu Sampe Sak Gebleke!!!







CERPEN - Filosofi Kentut



Jangan makan terlalu banyak lho jo, “ Kata sarijan sambil menghisap rokok keempatnya selama duduk-duduk dan ngobrol dengan kami. “ Emangnya kenapa? Cuma ketela aja kok ribut,” jawab parjo. “ kalau jadi kentut tempat ini bisa terpolusi,” kata Sarijan. Tampaknya Parjo cuek saja menanggapinya, “ Banyak kentut ya biar yang penting enak”. Kalau perutmu sakit piye jal” kucoba menasehati. Ah itu urusan nanti, pokoknya yang ada kita nikmati. Ngak usah mikir macam-macam” katanya tetap ngeyel. Akhirnya kami semua kekenyangan setelah melahap habis ketela goreng, pisang goreng, gemblong serta kopi yang disediakan nenekku. Memang setiap aku bermain ke rumah nenek, beliau selau menyiapkan makanan-makanan ndeso seperti itu.
            Udara yang dingin  membuat kami semua tertidur pulas di rumah nenekku sebelum suara tokek membangunkanku. “Waduh jam berapa ini? Aku belum sholat isya” aku kaget dan beranjak dari tikar pandan tempat kami tidur. Jan, bangun-bangun! Belum isya to? Kataku sambil mengoyang-goyangkan tubuh kedua temanku yang masih tidur. “ngganggu orang tidur saja, “ bentak Sarijan.
            “Ngganggu gimana to! Aku ini menolong kalian agar tidak ketemu malaikat Malik di neraka. Ayo bangun!” aku tak putus asa, apalagi rasanya senang kalu melihat mereka uring-uringan menahan kantuk. Entah kenapa ada rasa bangga kalau berhasil membuat kedua sahabatku itu emosi.
            Mereka ahirnya menyerah juga. Sambil berjalan layaknya orang mabuk, karena menahan kantuk yang masih mereka rasakan, mereka mengikutiku untuk berwudhu. “Lha begitu kan kelihatan nggantheng nggak seperti tadi yang persis genderuwo” kataku menggoda mereka. Kalu aku dari dulu sudah nggantheng, lha kamu itu yang persis mbahe genderuwo” kata parjo membalas ejekanku. “Sudah-sudah sesama genderuwo jangan saling mendahului. Ayo sholat aku selak mau tidur lagi” kata sarijan tidak sabar.
            Aku segra mengambil posisi imam dan dengan kekhusyu’an yang ala kadarnya kupimpin sholat berjamaah. Pas dirokaat kedua ketika kubaca surat Alkautsar, surat terpendek yang jadi faforitku, hidungku mengangkap bau yang, masya Allah, minta ampun busuknya. Bangkai tikus yang sudah seminggu saja kalah busuknya. “ Sialan ada yang kentut” batinku ndongkol. Kuteruskan saja sholatku walaupun kali ini tidak lagi dengan kekhusu’an yang ala kadarnay tetapi kekhusu’an yang hilang kadarnya. Sampai salam, bau kentut itu tidak juga hilang.
            Selesai sholat tidak ada zikir, tidak ada doa. Langsung ku tunjuk hidung Parjo,”kamu kentut kan Jo. Makanya sudah dibilang jangan makan ketela terlalu banyak. Wudhu lagi sana! Sholatmu batal”. Wah ini fitnah. Lha wong aku nggak kentut kok. Sarijan itu yang kentut,” kata Parjo membela diri. Enak saja, ya pasti kamu itu yang kentut. Yang makan ketela paling banyak kan kamu Jo” kata sarijan menuduh balik. “waduh aku dikeroyok. Kalian kan juga makan ketela. Lagian yang jadi kentut kan nggak hanya ketela. Gemblong bisa jadi kentut, pisang juga bisa jadi kentut.” Kata Parjo menangkis seranggan kami dengan jawaban yang logis. Parjo memang benar bahwa yang jadi kentut bukan hanya ketela. Gemblong, pisang bisa juga jadi kentut, bahkan makanan orang-orang kaya seperti Hamburger, Pizza, fried chicken juga bisa jadi kentut yang mungkin baunya lebih nggilani lagi.
            “Jadi siapa dong yang kentut?”kucoba menyelidiki dengan mantap mata kedua sahabatku barangkali ada yang gugup.”Kamu to Jan. Mbok ngaku saja. Aku nggak marah kok asal kamu mau ngaku” Parjo mengulang lagi tuduhannya. “kalu ngomong itu sing nggenah. Wong nggak kentut kok disuruh ngaku” kata sarijan membela diri. “ Waktu duduk diantara dua sujud tadi aku melihat kamu mengangakat pantat sedikit. Biar bisa kentut to?” Parjo mencoba menunjukan bukti-bukti. “ngawur kamu. Apa mengngkat pantat itu pasti kentut. Jempol kakiku sakit keseleo gara-gara kamu injak saat main bola tadi sore itu. Ini lho masih bengkak! Jadi kuangkat pantatku agar bisa menggeser kakiku. Lagian ngapain kamu sholat kok pakai plirak-plirik” penjelasan sarijan panjang lebar dan jitu. Sarijan berhasil membuat parjo menahan malu karena ketahuan kalau sholatnya nggak bener.
            Aku kaget ketika tiba-tiba jari telunjuk Parjo mengarah kepadaku, “Berarti kamu Mir yang kentut”. Lha ini lebih ngawur lagi, masak imam kentut. Kalau aku kentut kan harus berhenti sholat lalu salah satu dari kalian menggantikanku jadi imam” jawabku seenaknya karena tidak mengira akan datangnya serangan yang mendadak itu. Jawabanku benar-benar tidak logis dan masih memungkinkan sahabatku meneruskan serangannya. Benar saja, Parjo meneruskan serangannya, “ya mungkin kamu malu ketahuan kalau kentut. Apalagi baunya yang nauzubillah itu”. Atau saking khusuknya kamu nggak kerasa kalau kamu kentut” kata sarijan ikut-ikutan menyerangku. Yang jelas bukan aku yang kentut” kata Sarijan. “Aku juga nggak kentut” sahut Parjo.
            “Kalau tidak salah satu dari kita lalu siapa?” kataku penasaran. “Nenekmu mungkin” kata parjo mencoba mencari tersangka lain. “Mustahil. Lah wong nenekku tidur dirumah paman yang rumahnya sepuluh rumah dari sini kok. Tadi malam nenek dijemput pamanku karena anaknya yang paling kecil menangis terus. Biasanya nenek yang momong kalu anak paman itu rewel. Masak sih kentut nenek bisa menembus jarak sejauh itu. Lha kalu kentut Semar itu baru mungkin” kataku membela nenek.
            Suasana jadi hening karena masing-masing dari kami terdiam penasaran. “jangan-jangan yang kentut genderuwo yang mbaureksa tempat ini. Amir sih tadi mengataiku seperti genderuwo. Dia jadi marah karena mendapat saingan yang ngganteng kayak aku” kata Parjo sambil merapatkan badanya ke arahku karena takut. “Alah kamu itu Jo Jo. Mbok jangan macam-macam. Kalu nggak bisa mencari pelakunya jangan mencari kambing hitam. Seperti Orde Baru saja” kata sarijan menyalahkan Parjo. “Ya nggak Orde Baru saja. Orde Reformasi juga masih banyak yang cari kambing hitam kok. Cari kambing hitam kan mudah. Bapakku saja punya kambing hitam tiga hitam semua. Malah ketiganya sekarang sedang bunting . siapa tahu nanti anaknya hitam semua jadi kita mudah kalu mau cari kambing hitam” kataku bergurau.
            “Jadi gimana? Apa perlu kita mengulangi sholat?” aku mencoba memberi usul agar kami tidak kehabisan waktu gara-gara perdebatan yang tak berujung itu. “Ya sudah kita wudhu lagi semua. Sholat lagi, Taubat Nasional gitu!” kata parjo mendukungku.
            Kami pun wudhu dan sholat lagi. Kali ini bukan bau busuk yang mengganggu sholatku tapi pikiranku yang memikirkan kentut itu. Dia ada tapi nggak kelihatan. Orang-orang jadi korban kebusukannya tapi sangat sulit mencari dari mana asalnya. Pelakunya ada tapi sangat sulit mencarinya. Benar-benar sulit membuktikanya. Mungkin orang bijak di negeri ini pun sedang penasaran seperti aku, bedanya kalau aku bingung karena kentut’ mereka bingung karena kurupsi yang sepertinya susah sekali memberantasnya. “mungkin sifat korupsi memang seperti kentut” pikirku sambil memejamkan mataku. 

CERPEN - Anak Gilanya Menuntun Ke Surga




            Jantung Mbah Semi berdegub kencang melihat timbangan raksasa di depannya. Dia ngeri melihat nasib Kang Parto yang dilemparkan ke lautan api oleh mahluk-mahluk tinggi besar mengerikan itu. “Mudah-mudahan nasipku seperti Yu karti,” gumamnya saat menyaksikan Yu karti diantar oleh sepasang muda mudi yang rupawan dan ramah menuju rumah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai yang airnya sangat jernih. “Betapa indahnya, tak pernah kulihat pemandangan seindah itu,” katanya dalam hati.
            Tanggal 1 Agustus 1923 dia dilahirkan,” kata mahluk bersayap mulai membaca buku besar yang disampulnya bertuliskan dengan huruf besar: AMAL-AMAL SEMI BINTI RAKIJAN. “Semua amalnya dihitung sejak tanggal 23 juli 1937 saat pertama kali dia datang bulan. Membantu orang tua di sawah. Masukan ke timbangan bagian kanan!’ teriak mahluk itu kepada dua anak buahnya. Keduanya segera memasukannya ke bagian kanan sehingga timbangan itu njomplang ke kanan.
“mencuri semangka tetangga, masukan di kiri,” kata mahluk itu lagi. Kali ini yang sebelah kiri lebih berat. Tubuh mbah Semi gemetar kerena ketakutan yang sangat,”Ya Allah ampuni aku! Bisakah kiranya hamba kembali ke dunia untuk minta maaf kepada Yu Darmi si pemilik semangka itu?”. “Heh kamu tahu sekarang ada dimana kan? Sudah tidak ada lagi pengampunan dosa di sini. Pintu taubat sudah ditutup rapat. Sekarang tinggal perhitungannya. Kita lihat apakah kamu termasuk ahli surga atau neraka. Tahu!” bentak mahluk tinggi besar menyeramkan yang tadi melemparkan Kang Parto ke lautan api dengan memutar-mutar pentungan raksasa yang ada di tangannya. Mbah Semi semakin menggigil ngeri.
            “Tanggal 25 januari 1957. memberi beras kepada tetangga yang membutuhkan. Di kanan!”. Timbangan tak berubah tetap njomplang ke sebelah kiri. “shodakoh di masjid 200 rupiah. Di kanan!”. Timbangan juga tak juga njomplang ke kanan. Rupanya dosa Mbah Semi sudah teramat banyak sehingga amal baiknya tak mampu mengimbanginya. “aduh bagaimana ini?” kepada siapa aku meminta tolong?” Keluh Mbah semi.
            “Tanggal 21 Mei 1999. Puasa, di kanan. Selesai!”
            “Ya Tuhan, timbangan itu tetap berat yang kiri. Masya Allah, Astaghfirullah, nnalillah, aku masuk neraka” kata Mbah Semi setengah berteriak ketika melihat timbangan raksasa di depannya itu. Kini tak ada lagi yang mampu menolongnya. Kekayaan, ketenaran dan kekuasaan yang dulu pernah dimilikinya tak lagi dapat menolongnya. Sama sekali! Malah memberatkan timbangan ke kiri. “ayo gelandang dia ke neraka, cepat!” kata mahluk bersayap itu kepada dua mahluk besar itu.
            Mbah Semi meronta-rontya, “aku bertaubat! Aku bertaubat!”
            “Sudah terlambat. Sekali lagi sudah terlambat!” bentak mahluk itu.
            “Beri aku kesempatan lagi. Setahun saja!’
            “Tidak bisa”
            “Sebulan saja”
            “Tidak bisa”
            “Sehari saja”
            “Bahkan sedetik pun tidak!”. Kedua mahluk itu terus menyeretnya tanpa menghiraukan rintihannya menuju api yang mengerikan. Di sana hanya ada derita, hanya ada sengsara. Yang terdengar hanya tangis kepiluan, jeritan kesakitan dan ruang penderitaan. Yang tercium hanya bau anyir dan busuk. “Ya Allah, celaka aku. Seandainya...” kata Mbah Semi tak berhenti menyesali diri.
            Dua mahluk itu sudah siap melemparkan Mbah Semi melayang di atas samudra api itu. Belum sempat jelitan api membakar Mbah Semi tiba-tiba ada cahaya yang berkelebat menyambarnya. Kemudian tampak seorang pemuda tampan membopong Mbah Semi kembali di depan timbangan raksasa.
            Mahluk bersayap itu terkesima melihat pemandangan yang ada di depanya, “Hai siapa kamu? Apa yang kamu lakukan?”. Pemuda itu tak menghiraukan pertanyaan mahluk itu. Diturunkanya Mbah Semi dari bopongannya sambil memandang haru, “Simbok”. Mbah Semi tercekat tak mampu berkata-kata.
            “Simbok, apa simbok tidak mengenalku?”
            Mbah Semi menarik nafas panjang untuk menguasai diri,”Simbok? Mengapa anda memanggilku simbok?”
            “coba simbok lihat baik-baik diriku ini!”
            Mbah Semi memandangi pemuda itu dengan seksama, “Oh... pemuda ini mirip sekali dengan Siran, anakku satu-satunya. Tapi anakku tidaklah tampan seperti dia. Tubuhnya kotor karena jarang mandi. Dia hanya mau mandi kalau aku yang memandikanya. Tatapan mata anakku adalah tatapan mata yang bodoh karena dia ediot tidak seperti tatapan pemuda ini yang penuh kasih.
            “simbok ini aku Siran anakmu. Kini aku tinggal di surga. Aku jadi pelayan di sana” kata pemuda itu sambil memegang bahu ibunya.
            Mbah Semi tersenyum.  Rasa rindu pada anaknya yang mati muda itu kembali menelusup ke relung jiwanya. Mabh Semi hampir memeluk puteranya itu sebelum makhluk bersayap itu berteriak,”Hie, kalian telah mengganggu proses pengadilan akbar ini. Pemuda tampan, cepat kembali ke surga dan kau Semi tempatmu adalah neraka”.
            “Tidak. Aku akan membawanya ke surga” seru pemuda itu.
            “ke surga katamu? Jangan bercanda anak muda. Lihatlah timbangan itu, dosanya lebih berat dari pada pahalanya bukan?”
            “Memang tapi tempatnya adalah di surga”
            “Bagaimana dia ke surga?”
“Dengan ini” katanya pemuda itu sambil memperlihatkan bungkusan yang dipegangnya.
            “Apa itu pemuda?” tanya mahluk bersayap itu.
            Pemuda itu membuka bungkusan itu. Ternyata isinya adalah piring, gelas, baju rombeng yang jelek, celana kotor dan sarung batik yang berlobang disana-sini. Mahluk bersayap itu tertawa mengejek,”dengan barang murahan itu kau mau membawa ibumu ke surga?”
            Sang pemuda tidak menjawab. Dengan secepat kilat dia terbang ke angkasa dan meletakkan benda-benda itu di timbangan bagian kanan. Seketika timbangan itu njomplang ke kanan. Kemudian di berseru, “sekarang lihatlah, timbangan itu telah njomplang ke kanan buakn?”
            “Apa-apaan ini? Mengapa barang murahan itu bisa membuat timbangan itu njomplang ke kanan?” kata mahluk itu keheranan.
“Begini saja kau boleh meletakkan apapun di sebelah kiri. Kalu timbangan itu dapat njomplang ke kiri aku akan merelakan ibuku tinggal di neraka. Bagaimana setuju?” tantang pemuda itu dengan penuh percaya diri.
            “Baiklah aku setuju”. Malaikat itu mengambil gunung dan ditaruhnya gunung itu di kiri. Tapi timbangan itu tak bergeming sedikitpun. Kemudian diambilnya samudra. Tetapi tetap saja timbangan itu njomplang ke kanan.
            “Hai Malaikat, jangankan gunung dan samudra alam semesta pun taakan mampu” teriak pemuda itu balik mengejek.
            Malaikat itu segera mengambil seluruh benda yang ada di alam semesta: matahari, bulan, bumi, planet, komet dan lain-lain. Tapi tak juga mampu membuat timbangan itu njomplang ke kiri.
Malaikat itu menghampiri pemuda itu sambil berkat, “wahai pemuda tampan, benda-benda apakah yang kau taruh di timbangan itu sehingga beratnya melebihi berat seluruh alam semesta?”
            “Itu adalah Cinta”
            “Cinta? apa itu?”
            “Kau taakan tahu. Sekarang bolehkah aku membawa ibuku ke surga?”
            “Balum. Aku akan melapor dulu kepada Tuhan karena kejadian ini sangatlah aneh bagiku”
            “Lho kan sudah jelas yang kanan lebih berat dari pada yang kiri. Kurang apa lagi?”
            “Aku tidak bisa memutuskan. Aku minta fatwa dulu kepada Tuhan”. Malaikat itu melesat pergi.
            Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa layar raksasa. Pemuda itu tak sabar lagi dan mendekati malaikat itu. Semua mata tertuju kepada layar raksasa itu.
            “Mbah Semi... Mbah Semi. Siran mbah” kata seorang anak yang datang tergopoh-gopoh.
            “Siran kenapa?”
            “Siran ngamuk di Musholla”
            Mbah Semi yang sudah renta itu berlari ke mushola. Dilihatnya anak satu-satunya itu memegang kayu besar dan memukul-mukulkanya ke benda-benda yang ada didepanya. “Siran, Sudah....sudah. ayo pulang ya. Simbok memasak makanan kesukaanmu lho, semur jengkol” kata mbah semi penuh kasih. Laki-laki gila itu menatap Mbah Semi, ibunya. Dibuangnya kayu yang dipegangnya itu dan digandeng tangan ibunya pulang.
            Sehabis jamaah maghrib Mbah Semi menghadap imam mushola, “Pak maafkan anak saya ya”.
            “Ya mbah. Tapi...”
            “Tapi apa Pak?”
            “Begini Mbah, gelas dan piring investasi musholla banyak yang pecah”
            “Ya sudah nanti saya ganti semua”
            Layar itu menampilkan adegan berikutnya.
            Tampak seorang pemuda mengetuk pintu rumah Mbah Semi.
“Eh Mas Pardi. Silahkan masuk Mas. Maaf rumah saya berantakan. Tadi Siran ngamuk lagi. Ada apa ya Mas?”
            “Begini Mbok tadi pagi waktu di sawah baju dan celana kolor saya di buang siran ke sungai. Jadi saya ke sini mau minta ganti”
            O... begitu. Iya-iya nanti pasti saya ganti, tapi besok ya sebab saya harus beli dulu di pasar”. Keesokan harinya Mbah Semi pergi ke pasar membeli baju dan celana kolor sebagai ganti baju dan celana Mas pardi yang dibuang siran ke sungai.
            Anak Mbah Semi satu-satunya itu memang gila sejak kecil. Dia suka ngamuk dan punya kebiasaan membuang apa saja yang ditemuinya. Sudah tak terhiung banyaknya barang-barang yang dibuangnya sehingga tidak sedikit dana yang dikeluarkan Mbah Semi demi mengganti barang-barang itu. Perhiasanya sudah hampir habis terjual karena ulah anak satu-satunya itu.
            Dulu Mbah Semi pernah membawa anaknya berobat ke rumah sakit jiwa. Bukan hanya sekali tetapi empat kali namun tak ada hasilnya. Entah sudah berapa kali Mbah Semi datang ke Kiai dan paranormal demi kesembuhan anaknya. Tetapi hasilnya nihil.
            “Mengapa Siran tak dibawa ke panti saja to yu. Di sana ada yang merawatnya dan Yu Semi nggak usah mengeluarkan banyak uang “kata Mbah Surti, adik Mbah Semi, suatu kali.
            “Ngak Sur. Bagaimanapun Siran itu anakku. Biar aku sendiri yang merawatnya. Aku sangat sayang kepada dia. Siapa tahu dialah yang menolongku kelak di akhirat”
            “Tapi Yu kalu begini terus hartamu bisa habis untuk menganti barang-barang yang dirusak dan dibuang Siran”
            “Aku sudah Siap kok sur. Biarlah hartaku habis asal aku tetap bersama siran. Dia itu miliku satu-satunya.
            Subehanalloh................
            

Nitisemito-Potret Kapitalis Bumi Putra Indonesia



Nitisemito adalah potret seorang sosok pengusaha pribumi yang berhasil di jaman penjajahan Belanda. Sangatlah mengesankan menyimak kisah perjalanan hidup dari saudagar rokok kretek Cap Bal Tiga ini, semangat juang untuk usaha dan membesarkan usaha serta strategi pemasarannya adalah ilmu yang bermanfaat untuk kita pelajari.
Nitisemito yang pada masa kecilnya bernama Rusdi dibesarkan dari keluarga Haji Sulaiman, seorang kepala kampung di Jagalan Kudus. Ia merupakan putra bungsu dari dua bersaudara yang lahir pada tahun 1863. Jika dilihat dari nama ayahnya, maka ia dibesarkan dari keluarga yang taat beragama. Jika dikaitkan dengan etos kerja Islam, maka Nitisemito dibentuk atas dasar nilai-nilai kedisiplinan dan ketekunan dalam agama Islam. Hal itu diperkuat lagi, ia sama sekali tidak mengenyam pendidikan formal ala barat.
Jiwa kewirausaan Nitisemito semakin kuat setelah dibentuk oleh lingkungan kerja. Semula Nitisemito bekerja sebagai carik di Desa Jagalan karena usaha ayahnya. Akan tetapi ia merasa tidak cocok bekerja sebagai administrator, sehingga hanya dalam hitungan bulan ia telah mengundurkan diri sebagai carik dan pergi merantau ke Jawa Timur. Di daerah Mojokuto, Nitisemito berdagang pakaian terutama celana kolor ukuran pendek untuk konsumsi petani.
Pada tahun 1894 ia menikah dengan gadis pujaannya dari Kudus bersama Nasilah. Bersama Nasilah ia mengembangkan bakat wirausahanya dengan membuka warung dirumahnya. Barang dagangan yang dijual adalah barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, teh, kopi. Usaha itu pada tahun 1904 diperluas dalam bentuk persewaan dokar, jual beli tembakau, jual beli ternak kerbau, dan sebagainya.
Nitisemito yang semula merupakan pengusaha warung kopi, memiliki bakat dalam melinting rokok klobot. Rokok klobot yang dihasilkan ternyata memiliki prospek yang baik, banyak langgananya yang menikmati rokok klobot di warung kopinya merasa nyaman menikmati rokok hasil lintinganya. Sebaran informasi tentang nikmatnya rokok klobot buatan Nitisemito mulai meluas dalam sejumlah kecil pecandu rokok di masyarakat Kudus.
Melihat prospek yang begitu bagus dan atas anjuran para pelanggan dan sahabatnya, Nitisemito secara khusus menggeluti dunia rokok sebagai mata pencaharian pokok. Ia secara khusus membuat rokok yang dijual di warungnya. Kebiasaan merokok yang berkembang dalam masyarakat Kudus, dan Indonesia pada umumnya merupakan peluang yang begus bagi perkembangan rokok Nitisemito. Rokok yang semula tanpa merek itu kemudian diberi merek dengan tujuan sebagai alat identifikasi dan strategi proteksi. Semula merk rokok yang diberikan adalah Soempil dengan gambar segitiga, kemudian berubah menjadi Djeruk dan akhirnya menjadi Bal Tiga.
Manajemen yang dikembangkan untuk mengelola perusahaanya menggunakan sistem abon. Dalam sistem abon, perusahaan dikelola sebagai perusahaan perorangan pemilik perusahaan berperan sebagai organisator, manajer sekaligus administrator. Dengan demikian semua fungsi keuangan, prosuksi dan distribusi kesemuanya dibawah kendali keluarga Nitisemito. Untuk memperluas pekerjaan manajerial Nitisemito mengangkat orang-orang kepercayaan (abon).
Perusahaan rokok Nitisemito yang semula hanya merupakan perusahaan kecil dalam perkembanganya menjadi perusahaan besar untuk ukuran waktu itu. Pabrik rokok Nitisemito merupakan usaha manufaktur yang memiliki tenaga kerja diatas 100 orang.
Nitisemito tidak bersedia memanfaatkan lembaga perbangkan yang ketika itu berkembang di wilayah Kudus. Meminjam modal di bank memiliki resiko, terutama jika terjadi gejolak politik. Ketika Jepang masuk di Indonesia, tatanan politik menjadi kacau balau yang mengakibatkan perusahaan-perusahaan kolaps. Pilihan Nitisemito tepat karena ia sama sekali tidak memiliki hutang ketika terjadi perubahan politik dari penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.  Niti semito berusaha menggunakan modalnya sendiri untuk keperluan produksi rokok mulai dari pembelian peralatan pabrik, upah tenaga kerja hingga proses distribusinya.  
Untuk masa itu strategi pemasaran/Marketing Nitisemito sungguh sangat luar biasa. Promosi dalam perusahaan Rokok Nitisemito dilakukan dengan dua cara yaitu promosi langsung (penjualan produk di pusat keramaian) dan promosi tidak langsung (pemasangan reklame penayangan iklan di surat kabar, memberi sponsor berbagai kegiatan olahraga dan kesenian, serta memberikan jam dinding pada masjid besar di Kudus.
Bukankah ini mengesankan, patut kita pelajari dan dijadikan contoh, bagaimana seorang pribumi, diera penjajahan belanda, disaat orang-orang tertindas dijajah belanda,menjadi orang jajahan belanda yang tak berdaya, Nitisemito tampil menggangkat harkat dan martabat dirinya bukan orang yang bisa dijajah inlander itu. Nitisemito patut dijadikan pahlawan, contoh dan suri tauladan bagi generasi masa kini di era globalisasi ini untuk meniru jiwa keuletan, pantang menyerah dan disiplin Nitisemito sebagai pengusaha bumiputera untuk mencapai sukses.

Relevansi Ideologi Komunis dengan Ideologi Pancasila



Secara   ontologis (suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan), moral pancasila dan moral komunisme bertemu dalam nilai-nilai universal manusia. Namun kedua moral di atas terdapat perbedaan dalam konteks epistemologinya (metode untuk memperoleh pengetahuan). Dalam filsafat manusia, terdapat nilai-nilai universal yang sama. Beberapa nilai-nilai universal diataranya; nilai keadilan, kesejahteraan, kejujuran, keamaan, keerukunan, gotongroyong, persatuan, kecerdasan, dan lain-lain.  Bagian inilah yang disebut tataran ontologis. Sehingga siapa saja pasti setuju tentang nilai-nilai universal di atas. Hal ini sempat menjadi perhatian oleh Gus Dur. Tokoh yang satu ini berani berbeda dengan tokoh-tokoh lain, karena memainkan ontologis. Sempat Gus Dur ingin mencabut TAP MPR Nomor XXV Tahun  1966 yang berisi tentang pelarangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, leninisme serta keberadaan PKI. Secara filsafat manusia Gus Dur menang. Namun  secara Ideologis, Gus Dur Kalah.
Kembali pada pembahasan filsafat manusia. Lantas persoalannya adalah, dengan cara apa nilai-nilai universal itu diperjuangkan. Inilah pertanyaan subtansial relevan atau tidaknya moral pancasila dan moral komunis dalam pendidikan Indonesia. Ada dua golongan yang sama-sama bertujuan memperjuangkan nilai-nilai universal di atas. Dua gologan itu adalah mereka yang beragama dan meraka yang tidak beragama. Golongan pertama berpandangan bahwa dengan agama, nilai-nilai universal itu dapat terwujud. Golongan kedua pun demikian. Dengan tidak agama, nilai-nilai universal juga akan terwujud. Yang beragama ya memperjuangkan keadilan. Yang tidak beragama juga memperjuangkan keadilan. Dalam proses lebih lanjut, golongan yang percaya bahwa dengan agama dapat memperjuangkan nilai-nilai universal menjadi suatu ideologi. Begitu hal yang mereka yang yakin dengan tidak beragama, juga menciptakan ideologi. Dalam konteks Indonesia, yang beragama itu disebut ideologi Pancasila. Selanjutnya yang tidak beragama di sebut dengan komunis.
Epistemologi merupakan pengetahuan benar berdasarkan ontologisme. Contoh tiga ideologi berikut ini. Petama, ideologi pancasila yang yakin dalam membangun hubungan vertikal dan horizontal. Kedua, ideologi liberal yang yakin dalam mewujudkan nilai-nilai universal harus dengan membangun hubungan horizontal dengan baik, dan hubuangan vertical relative positif dan negatif. Selanjutnya ideologi sosialisme komunis yang berpandangan bahwa hubungan vertikal tidak perlu di jalankan, yang perlu dijalankan adalah hubungan horizontal. Pola hubungan yang beragam ini tidak lain hanya bertujuan untuk memperjuangan nilai-nilai universal di atas tadi.