Udara
yang dingin membuat kami semua tertidur
pulas di rumah nenekku sebelum suara tokek membangunkanku. “Waduh jam berapa
ini? Aku belum sholat isya” aku kaget dan beranjak dari tikar pandan tempat
kami tidur. Jan, bangun-bangun! Belum isya to? Kataku sambil
mengoyang-goyangkan tubuh kedua temanku yang masih tidur. “ngganggu orang tidur
saja, “ bentak Sarijan.
“Ngganggu
gimana to! Aku ini menolong kalian agar tidak ketemu malaikat Malik di neraka.
Ayo bangun!” aku tak putus asa, apalagi rasanya senang kalu melihat mereka uring-uringan menahan kantuk. Entah
kenapa ada rasa bangga kalau berhasil membuat kedua sahabatku itu emosi.
Mereka
ahirnya menyerah juga. Sambil berjalan layaknya orang mabuk, karena menahan
kantuk yang masih mereka rasakan, mereka mengikutiku untuk berwudhu. “Lha
begitu kan kelihatan nggantheng nggak
seperti tadi yang persis genderuwo”
kataku menggoda mereka. Kalu aku dari dulu sudah nggantheng, lha kamu itu yang persis
mbahe genderuwo” kata parjo membalas ejekanku. “Sudah-sudah sesama genderuwo jangan saling mendahului. Ayo
sholat aku selak mau tidur lagi” kata
sarijan tidak sabar.
Aku
segra mengambil posisi imam dan dengan kekhusyu’an yang ala kadarnya kupimpin
sholat berjamaah. Pas dirokaat kedua ketika kubaca surat Alkautsar, surat
terpendek yang jadi faforitku, hidungku mengangkap bau yang, masya Allah, minta
ampun busuknya. Bangkai tikus yang sudah seminggu saja kalah busuknya. “ Sialan
ada yang kentut” batinku ndongkol. Kuteruskan saja sholatku walaupun kali ini
tidak lagi dengan kekhusu’an yang ala kadarnay tetapi kekhusu’an yang hilang
kadarnya. Sampai salam, bau kentut itu tidak juga hilang.
Selesai
sholat tidak ada zikir, tidak ada doa. Langsung ku tunjuk hidung Parjo,”kamu
kentut kan Jo. Makanya sudah dibilang jangan makan ketela terlalu banyak. Wudhu
lagi sana! Sholatmu batal”. Wah ini fitnah. Lha wong aku nggak kentut kok. Sarijan itu yang kentut,” kata Parjo membela
diri. Enak saja, ya pasti kamu itu yang kentut. Yang makan ketela paling banyak
kan kamu Jo” kata sarijan menuduh balik. “waduh aku dikeroyok. Kalian kan juga makan ketela. Lagian yang jadi kentut
kan nggak hanya ketela. Gemblong bisa jadi kentut, pisang juga bisa jadi
kentut.” Kata Parjo menangkis
seranggan kami dengan jawaban yang logis. Parjo memang benar bahwa yang jadi
kentut bukan hanya ketela. Gemblong, pisang bisa juga jadi kentut, bahkan
makanan orang-orang kaya seperti Hamburger, Pizza, fried chicken juga bisa jadi
kentut yang mungkin baunya lebih nggilani
lagi.
“Jadi
siapa dong yang kentut?”kucoba
menyelidiki dengan mantap mata kedua sahabatku barangkali ada yang gugup.”Kamu
to Jan. Mbok ngaku saja. Aku nggak marah kok asal kamu mau ngaku” Parjo
mengulang lagi tuduhannya. “kalu ngomong itu sing nggenah. Wong nggak kentut
kok disuruh ngaku” kata sarijan membela diri. “ Waktu duduk diantara dua sujud
tadi aku melihat kamu mengangakat pantat sedikit. Biar bisa kentut to?” Parjo
mencoba menunjukan bukti-bukti. “ngawur
kamu. Apa mengngkat pantat itu pasti kentut. Jempol kakiku sakit keseleo
gara-gara kamu injak saat main bola tadi sore itu. Ini lho masih bengkak! Jadi
kuangkat pantatku agar bisa menggeser kakiku. Lagian ngapain kamu sholat kok
pakai plirak-plirik” penjelasan
sarijan panjang lebar dan jitu. Sarijan berhasil membuat parjo menahan malu
karena ketahuan kalau sholatnya nggak bener.
Aku
kaget ketika tiba-tiba jari telunjuk Parjo mengarah kepadaku, “Berarti kamu Mir
yang kentut”. Lha ini lebih ngawur lagi, masak imam kentut. Kalau aku kentut
kan harus berhenti sholat lalu salah satu dari kalian menggantikanku jadi imam”
jawabku seenaknya karena tidak mengira akan datangnya serangan yang mendadak
itu. Jawabanku benar-benar tidak logis dan masih memungkinkan sahabatku
meneruskan serangannya. Benar saja, Parjo meneruskan serangannya, “ya mungkin
kamu malu ketahuan kalau kentut. Apalagi baunya yang nauzubillah itu”. Atau saking
khusuknya kamu nggak kerasa kalau kamu kentut” kata sarijan ikut-ikutan
menyerangku. Yang jelas bukan aku yang kentut” kata Sarijan. “Aku juga nggak
kentut” sahut Parjo.
“Kalau
tidak salah satu dari kita lalu siapa?” kataku penasaran. “Nenekmu mungkin”
kata parjo mencoba mencari tersangka lain. “Mustahil. Lah wong nenekku tidur
dirumah paman yang rumahnya sepuluh rumah dari sini kok. Tadi malam nenek
dijemput pamanku karena anaknya yang paling kecil menangis terus. Biasanya
nenek yang momong kalu anak paman itu
rewel. Masak sih kentut nenek bisa
menembus jarak sejauh itu. Lha kalu kentut Semar itu baru mungkin” kataku
membela nenek.
Suasana
jadi hening karena masing-masing dari kami terdiam penasaran. “jangan-jangan
yang kentut genderuwo yang mbaureksa tempat ini. Amir sih tadi
mengataiku seperti genderuwo. Dia
jadi marah karena mendapat saingan yang ngganteng
kayak aku” kata Parjo sambil merapatkan badanya ke arahku karena takut.
“Alah kamu itu Jo Jo. Mbok jangan macam-macam. Kalu nggak bisa mencari
pelakunya jangan mencari kambing hitam. Seperti Orde Baru saja” kata sarijan
menyalahkan Parjo. “Ya nggak Orde Baru saja. Orde Reformasi juga masih banyak
yang cari kambing hitam kok. Cari kambing hitam kan mudah. Bapakku saja punya
kambing hitam tiga hitam semua. Malah ketiganya sekarang sedang bunting . siapa tahu nanti anaknya hitam
semua jadi kita mudah kalu mau cari kambing hitam” kataku bergurau.
“Jadi
gimana? Apa perlu kita mengulangi sholat?” aku mencoba memberi usul agar kami
tidak kehabisan waktu gara-gara perdebatan yang tak berujung itu. “Ya sudah
kita wudhu lagi semua. Sholat lagi, Taubat
Nasional gitu!” kata parjo mendukungku.
Kami
pun wudhu dan sholat lagi. Kali ini bukan bau busuk yang mengganggu sholatku
tapi pikiranku yang memikirkan kentut itu. Dia
ada tapi nggak kelihatan. Orang-orang jadi korban kebusukannya tapi sangat
sulit mencari dari mana asalnya. Pelakunya ada tapi sangat sulit mencarinya.
Benar-benar sulit membuktikanya. Mungkin orang bijak di negeri ini pun sedang
penasaran seperti aku, bedanya kalau aku bingung karena kentut’ mereka bingung
karena kurupsi yang sepertinya susah sekali memberantasnya. “mungkin sifat
korupsi memang seperti kentut” pikirku sambil memejamkan mataku.
No comments:
Post a Comment