Friday, May 3, 2013

CERPEN - Filosofi Kentut



Jangan makan terlalu banyak lho jo, “ Kata sarijan sambil menghisap rokok keempatnya selama duduk-duduk dan ngobrol dengan kami. “ Emangnya kenapa? Cuma ketela aja kok ribut,” jawab parjo. “ kalau jadi kentut tempat ini bisa terpolusi,” kata Sarijan. Tampaknya Parjo cuek saja menanggapinya, “ Banyak kentut ya biar yang penting enak”. Kalau perutmu sakit piye jal” kucoba menasehati. Ah itu urusan nanti, pokoknya yang ada kita nikmati. Ngak usah mikir macam-macam” katanya tetap ngeyel. Akhirnya kami semua kekenyangan setelah melahap habis ketela goreng, pisang goreng, gemblong serta kopi yang disediakan nenekku. Memang setiap aku bermain ke rumah nenek, beliau selau menyiapkan makanan-makanan ndeso seperti itu.
            Udara yang dingin  membuat kami semua tertidur pulas di rumah nenekku sebelum suara tokek membangunkanku. “Waduh jam berapa ini? Aku belum sholat isya” aku kaget dan beranjak dari tikar pandan tempat kami tidur. Jan, bangun-bangun! Belum isya to? Kataku sambil mengoyang-goyangkan tubuh kedua temanku yang masih tidur. “ngganggu orang tidur saja, “ bentak Sarijan.
            “Ngganggu gimana to! Aku ini menolong kalian agar tidak ketemu malaikat Malik di neraka. Ayo bangun!” aku tak putus asa, apalagi rasanya senang kalu melihat mereka uring-uringan menahan kantuk. Entah kenapa ada rasa bangga kalau berhasil membuat kedua sahabatku itu emosi.
            Mereka ahirnya menyerah juga. Sambil berjalan layaknya orang mabuk, karena menahan kantuk yang masih mereka rasakan, mereka mengikutiku untuk berwudhu. “Lha begitu kan kelihatan nggantheng nggak seperti tadi yang persis genderuwo” kataku menggoda mereka. Kalu aku dari dulu sudah nggantheng, lha kamu itu yang persis mbahe genderuwo” kata parjo membalas ejekanku. “Sudah-sudah sesama genderuwo jangan saling mendahului. Ayo sholat aku selak mau tidur lagi” kata sarijan tidak sabar.
            Aku segra mengambil posisi imam dan dengan kekhusyu’an yang ala kadarnya kupimpin sholat berjamaah. Pas dirokaat kedua ketika kubaca surat Alkautsar, surat terpendek yang jadi faforitku, hidungku mengangkap bau yang, masya Allah, minta ampun busuknya. Bangkai tikus yang sudah seminggu saja kalah busuknya. “ Sialan ada yang kentut” batinku ndongkol. Kuteruskan saja sholatku walaupun kali ini tidak lagi dengan kekhusu’an yang ala kadarnay tetapi kekhusu’an yang hilang kadarnya. Sampai salam, bau kentut itu tidak juga hilang.
            Selesai sholat tidak ada zikir, tidak ada doa. Langsung ku tunjuk hidung Parjo,”kamu kentut kan Jo. Makanya sudah dibilang jangan makan ketela terlalu banyak. Wudhu lagi sana! Sholatmu batal”. Wah ini fitnah. Lha wong aku nggak kentut kok. Sarijan itu yang kentut,” kata Parjo membela diri. Enak saja, ya pasti kamu itu yang kentut. Yang makan ketela paling banyak kan kamu Jo” kata sarijan menuduh balik. “waduh aku dikeroyok. Kalian kan juga makan ketela. Lagian yang jadi kentut kan nggak hanya ketela. Gemblong bisa jadi kentut, pisang juga bisa jadi kentut.” Kata Parjo menangkis seranggan kami dengan jawaban yang logis. Parjo memang benar bahwa yang jadi kentut bukan hanya ketela. Gemblong, pisang bisa juga jadi kentut, bahkan makanan orang-orang kaya seperti Hamburger, Pizza, fried chicken juga bisa jadi kentut yang mungkin baunya lebih nggilani lagi.
            “Jadi siapa dong yang kentut?”kucoba menyelidiki dengan mantap mata kedua sahabatku barangkali ada yang gugup.”Kamu to Jan. Mbok ngaku saja. Aku nggak marah kok asal kamu mau ngaku” Parjo mengulang lagi tuduhannya. “kalu ngomong itu sing nggenah. Wong nggak kentut kok disuruh ngaku” kata sarijan membela diri. “ Waktu duduk diantara dua sujud tadi aku melihat kamu mengangakat pantat sedikit. Biar bisa kentut to?” Parjo mencoba menunjukan bukti-bukti. “ngawur kamu. Apa mengngkat pantat itu pasti kentut. Jempol kakiku sakit keseleo gara-gara kamu injak saat main bola tadi sore itu. Ini lho masih bengkak! Jadi kuangkat pantatku agar bisa menggeser kakiku. Lagian ngapain kamu sholat kok pakai plirak-plirik” penjelasan sarijan panjang lebar dan jitu. Sarijan berhasil membuat parjo menahan malu karena ketahuan kalau sholatnya nggak bener.
            Aku kaget ketika tiba-tiba jari telunjuk Parjo mengarah kepadaku, “Berarti kamu Mir yang kentut”. Lha ini lebih ngawur lagi, masak imam kentut. Kalau aku kentut kan harus berhenti sholat lalu salah satu dari kalian menggantikanku jadi imam” jawabku seenaknya karena tidak mengira akan datangnya serangan yang mendadak itu. Jawabanku benar-benar tidak logis dan masih memungkinkan sahabatku meneruskan serangannya. Benar saja, Parjo meneruskan serangannya, “ya mungkin kamu malu ketahuan kalau kentut. Apalagi baunya yang nauzubillah itu”. Atau saking khusuknya kamu nggak kerasa kalau kamu kentut” kata sarijan ikut-ikutan menyerangku. Yang jelas bukan aku yang kentut” kata Sarijan. “Aku juga nggak kentut” sahut Parjo.
            “Kalau tidak salah satu dari kita lalu siapa?” kataku penasaran. “Nenekmu mungkin” kata parjo mencoba mencari tersangka lain. “Mustahil. Lah wong nenekku tidur dirumah paman yang rumahnya sepuluh rumah dari sini kok. Tadi malam nenek dijemput pamanku karena anaknya yang paling kecil menangis terus. Biasanya nenek yang momong kalu anak paman itu rewel. Masak sih kentut nenek bisa menembus jarak sejauh itu. Lha kalu kentut Semar itu baru mungkin” kataku membela nenek.
            Suasana jadi hening karena masing-masing dari kami terdiam penasaran. “jangan-jangan yang kentut genderuwo yang mbaureksa tempat ini. Amir sih tadi mengataiku seperti genderuwo. Dia jadi marah karena mendapat saingan yang ngganteng kayak aku” kata Parjo sambil merapatkan badanya ke arahku karena takut. “Alah kamu itu Jo Jo. Mbok jangan macam-macam. Kalu nggak bisa mencari pelakunya jangan mencari kambing hitam. Seperti Orde Baru saja” kata sarijan menyalahkan Parjo. “Ya nggak Orde Baru saja. Orde Reformasi juga masih banyak yang cari kambing hitam kok. Cari kambing hitam kan mudah. Bapakku saja punya kambing hitam tiga hitam semua. Malah ketiganya sekarang sedang bunting . siapa tahu nanti anaknya hitam semua jadi kita mudah kalu mau cari kambing hitam” kataku bergurau.
            “Jadi gimana? Apa perlu kita mengulangi sholat?” aku mencoba memberi usul agar kami tidak kehabisan waktu gara-gara perdebatan yang tak berujung itu. “Ya sudah kita wudhu lagi semua. Sholat lagi, Taubat Nasional gitu!” kata parjo mendukungku.
            Kami pun wudhu dan sholat lagi. Kali ini bukan bau busuk yang mengganggu sholatku tapi pikiranku yang memikirkan kentut itu. Dia ada tapi nggak kelihatan. Orang-orang jadi korban kebusukannya tapi sangat sulit mencari dari mana asalnya. Pelakunya ada tapi sangat sulit mencarinya. Benar-benar sulit membuktikanya. Mungkin orang bijak di negeri ini pun sedang penasaran seperti aku, bedanya kalau aku bingung karena kentut’ mereka bingung karena kurupsi yang sepertinya susah sekali memberantasnya. “mungkin sifat korupsi memang seperti kentut” pikirku sambil memejamkan mataku. 

No comments:

Post a Comment