Dalam
konteks sejarah, ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran yang berdasarkan
fakta dan yang berdasarkan tulisan. Keobjektifan dalam penulisan sejarah
mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa terulang lagi.
Sedangkan sejarah yang subjektif merupakan gambaran dari peristiwa sejarah yang
di tulis oleh seorang sejarawan. Karena itu kedua-duanya merupakan bagian dari
penulisan sejarah. Namun, pada dasarnya sejarah adalah ilmu yang
bersifat subjektif (Abu Su’ud, 2012).
Sejarah
dapat dilihat dari arti subjektif dan objektif. sejarah dalam arti subjektif
adalah suatu konstruk, yaitu suatu bangunan yang disusun oleh subjek/sejarawan/penulis
sebagai suatu uraian atau cerita (Kartodirjo, 1992: 14-15). oleh karena itu,
sejarah dalam arti subjektif tidak lepas dari pengaruh subjek/penulis. Uraian
atau cerita tersebut merupakan suatu kesatuan yang mencakup fakta-fakta yang
dirangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun
struktur. Kesatuan itu menunjukan keherensi, artinya berbagai unsur-unsur itu
saling menopang dan saling tergantung satu sama lain. Sedangkan sejarah dalam
arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses
sejarah dalam aktualitasnya. Keseluruhan proses itu berlangsung terlepas dari
subjek manapun. Objektif disini dalam arti tidak memuat unsur-unsur subjek.
Kenapa
keobjektifan sejarah terkadang tidak mendapatkan tanggapan positif ? Hai ini
dikarenakan kebenaran sejarah diintervensi oleh kepentingan politik pemerintah
yang terimplementasi dalam historiografi (penulisan buku sejarah). Nilai-nilai
politik bisa terlihat dalam penulisan
sejarah, terutama sejarah yang ditulis oleh pemerintah atau penulisan sejarah
yang merujuk kepada kepentingan pemerintah. Penulisan sejarah seperti ini
sangat nampak dalam buku-buku teks pelajaran sejarah yang ada di sekolah.
Mengapa demikian? Sebab, pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah harus
merujuk kepada kurikulum yang berlaku. Adapun kurikulum pada dasarnya merupakan
produk kebijakan politik pemerintah dalam pendidikan.
Contoh: Historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru Suharto adalah
sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan
dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan
militer. Pada akhirnya versi militer tentang kejadian di tahun 1965 mendominasi
historiografi periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde
Baru. Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia sebagai
hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan
nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat
sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang
Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya
menggantikan Soekarno dengan militer, sementara itu para penentang Pancasila
khususnya komunisme dan Islam ekstrimis telah menggantikan posisi kolonialisme
dan imperialisme sebagai kambing hitam.
Sebaiknya Indonesia perlu belajar dari Pemerintah Jerman yang berani
membuka dan bertanggung jawab terhadap sejarah masa lalu, meski pahit.
Pemerintah Jerman seringkali berbagi pengalaman melalui berbagai kegiatan
diskusi tentang bagaimana masyarakat mengolah sejarah mereka yang gelap. Pemerintah
Jerman berani mengulas secara kritis masa kekuasaan Nazi, berani mengakui
kesalahan Hitler beserta pendukungnya, yang telah melakukan kejahatan
kemanusiaan. Selain itu, Masyarakat Jerman, juga berani mengkritisi masa
pemerintahan komunis di Jerman Timur pada 1990-an. Jerman berusaha bertanggung
jawab terhadap keluarga korban kekejaman Hitler dengan membayar ganti rugi
dalam jumlah yang besar.
Dari Jerman, Indonesia bisa belajar bagaimana masyarakat negara maju
tersebut terus berproses untuk menggugat dan berpikir kritis tentang sejarah
masa lalu. Masyrarakat perlu diberi ruang untuk melihat sejarah Indonesia dalam
pandangan yang luas karena Ilmu Sejarah bersifat dinamis dan tidak bergerak
dalam ruang yang kosong.
No comments:
Post a Comment